Kursi-Kursi Strategis di KPK Sering Diisi oleh Bukan yang Paling Kompeten
Kursi-Kursi Strategis di KPK Sering Diisi oleh Bukan yang Paling Kompeten - Image Caption
News24xx.com - Kalimat “pengalaman jabatan relevan minimal lima tahun” belakangan terdengar bak mantra wajib dalam setiap rekrutmen pejabat strategis, termasuk di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2025 ini.
Tapi kalau ditanya, “relevan itu apa?”, di situlah petualangan logika dimulai.
KPK mengatakan, syarat lima tahun itu untuk menjamin profesionalitas.
Tapi BPK selama sepuluh tahun terakhir justru berkali-kali menemukan kelemahan dalam sistem rekrutmen, yakni parameter kabur, merit system lemah, dan terlalu administratif.
Hasilnya, kursi-kursi strategis sering diisi bukan oleh yang paling kompeten, tapi oleh yang paling terdaftar.
Menyikapi hal ini, Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) mengatakan, jika mengacu ke UU ASN dan PP 11/2017, syarat pengalaman relevan lima tahun, memang sah secara hukum.
Tapi secara substansi, ini seperti mengukur kecakapan berenang dari lamanya berdiri di pinggir kolam.
Menurut IAW, lima tahun di KPK, Kejaksaan, atau Polri punya karakter kerja yang berbeda. Tapi di atas kertas, semuanya dianggap relevan.
“Di sinilah celah bias muncul, karena tafsir subjektif bisa membuka ruang lobi, dan lobi bisa merobohkan semangat meritokrasi,” kata Iskandar Jumat 14 November 2025.
Indonesian Audit Watch menilai, kalimat relevan ini terlalu lentur untuk lembaga sekeras KPK. Di tangan yang salah, kelenturannya bisa jadi alat penyaring selera, bukan integritas.
Data LHP BPK tahun 2015–2024 menunjukkan, pola yang sama terus berulang, yaitu KPK disarankan memperkuat indikator objektif dalam rekrutmen.
Ironinya, yang terjadi, indikator justru makin kabur pasca revisi UU KPK 2019. TWK dulu dijadikan filter ideologi, kini pengalaman relevan dijadikan pagar administrasi.
“Semuanya tampak sah, tapi tidak otomatis melahirkan penyidik atau direktur dengan kompetensi khas anti-korupsi,” paparnya.
IAW mencotohkan seleksi Direktur Penyelidikan. Dari lima kandidat, ada yang dari Kejaksaan, ada yang dari internal KPK.
“Sama-sama punya lima tahun pengalaman, tapi apa bobotnya sama?. Lima tahun mengusut kasus tindak pidana umum tentu beda dengan lima tahun di jantung penyelidikan korupsi,” tegasnya.
“Mekanisme validasi pengalaman masih lemah, tak ada uji independen, tak ada matriks poin yang menilai kualitas tugas. Lalu dimana relevansi tersebut berada?,” tanya Iskandar.
Untuk itu, IAW mengusulkan, agar KPK menerbitkan Peraturan Khusus tentang Penilaian Pengalaman Relevan, lengkap dengan matriks kompetensi tiap jabatan, sistem poin yang menilai impact pekerjaan, mekanisme rekognisi pengalaman non-struktural, assessment-nya jangan administratif dan gunakan model FBI & ICAC.
“Kalau koruptor mainnya di dunia digital, masa penyidiknya masih disaring pakai SK dan lamanya masa kerja?,” ucapnya.
Dalam model ideal menurut IAW, pengalaman relevan dinilai dengan proporsi seimbang yakni 40 persen kompetensi teknis, 40 persen integritas & kepemimpinan, dan 20 persen kecocokan budaya dan visi lembaga.
“Jadi, ketika KPK bilang calon pejabatnya harus punya “pengalaman relevan lima tahun”, publik berhak bertanya balik, “Relevan buat siapa? Untuk pekerjaannya, atau untuk kenyamanan sistemnya?,” ungkapnya.
Menurut IAW, jika KPK benar-benar ingin menegakkan integritas, maka relevan harus bermakna, relevan dengan tantangan zaman, bukan sekadar lamanya masa kerja.
“Karena korupsi hari ini, tidak menunggu lima tahun untuk beradaptasi,” kata Iskandar. ***