Pilkada Serentak Dinilai Bebani APBN, hingga Munculkan Dinasti Politik

Pilkada Serentak Dinilai Bebani APBN, hingga Munculkan Dinasti Politik - Image Caption


News24xx.com -  Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebentar lagi akan digelar serentak di seluruh Indonesia. Namun demi mendapatkan sosok pemimpin baru, pelaksanaan kegiatan itu dinilai tidak sejalan karena menimbulkan banyak permasalahan, mulai dari politik dinasti hingga tak meratanya pembangunan daerah.

Pengamat Intelejen Fauka Noor Farid mengatakan, dirinya menilai pelaksanaan Pilkada yang berlangsung sekarang justru lebih banyak merugikan masyarakat sehingga lebih tepat dihapuskan. Karena dalam pelaksanaan, Pilkada untuk memilih Gubernur, Walikota, dan Bupati dinilai justru diselewengkan untuk menciptakan politik dinasti bagi satu kelompok saja.

“Hari ini ayahnya besok anaknya, atau istrinya. Banyak ada celah dalam pelaksanaan Pilkada ini yang justru menciptakan politik dinasti,” kata Fauka, Jumat (18/7).

Menurut mantan anggota Tim Mawar Kopassus ini, ketika Pilkada berlangsung maka pihak yang paling diuntungkan adalah pemangku jabatan sebelumnya yang mengetahui seluk beluk pemerintahan. “Keuntungan yang didapat itu mulai dari proses perizinan melakukan kampanye pada aset pemerintah daerah yang dimudahkan, domplengan popularitas agar dikenal masyarakat, hingga pengaruh relasi kuasa,” ujar Fauka.

Fauka menambahkan, melalui pilkada itu juga masyarakat yang konon memiliki pilihan menentukan pemimpin, justru dipaksa untuk memilih sosok pemimpin tertentu karena pengaruh kekuasaan dari kepala daerah sebelumnya. “Hal yang lebih buruknya pilihan yang dipaksakan ke masyarakat itu sosok tidak kompeten. Karena bisa maju di Pilkada lewat kekuatan politik dinasti, bukan karena di cakap,” imbuhnya.

Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institut Kajian Pertahanan dan Inteljen Indonesia, menyebut Pilkada dan otonomi daerah juga merugikan masyarakat. Pasalnya, pembangunan menjadi tidak merata, hal itu terlihat dari satu daerah jauh lebih maju dibandingkan daerah-daerah lain.

“Ego masing-masing kepala daerah untuk menjalankan program sesuai keinginannya membuat tidak ada batasan bagi mereka dalam menetapkan kebijakan, hasilnya justru berujung merugikan warga,” ungkap Fauka.

Ditambahkan Akmil 1992 ini, pelaksanaan Pilkada juga dirasa membebani anggaran belanja negara (APBN) yang harusnya dapat digunakan untuk membangun daerah menjadi terbuang tanpa hasil.  “Tidak ada acuan kepala daerah untuk menjalankan program. Lain bila kepala daerah ditentukan pemerintah pusat. Dapat dijaring sosok-sosok yang tepat dan memiliki program kerja pasti,” tuturnya.

Atas hal tersebut, Fauka menilai Pilkada dan otonomi daerah dianggap perlu dihapuskan, kewenangan menetapkan pemimpin dan kebijakan kembali diambil pemerintah pusat lewat satu mekanisme. Ia pun optimis bila dihapuskan maka pembangunan sumber daya manusia (SDM), ketahanan pangan, pemerataan pendidikan dan kesehatan dapat lebih tercapai.

“Ini bukan soal kembali ke Orde Baru, tapi soal kepentingan lebih besar yang mau kita capai. Pilkada dan otonomi daerah ini justru menghambat pemerataan dan program pemerintah,” tutup Fauka. ***