Ketum PP IAI Noffendri Beri Penjelasan Seputar Polemik Harga Obat di Indonesia Lebih Mahal dari Malaysia
News24xx.com - Polemik mengenai harga obat di Indonesia yang dituding jauh lebih mahal dari Malaysia mendorong Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) angkat bicara. Menurut lembaga organisasi profesi apoteker di Indonesia ini, ada tiga jenis obat di pasaran dengan harga yang bervariasi, mulai dari yang murah sampai mahal.
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) IAI, Apt Noffendri Roestam, S.Si menjelaskan bahwa obat di Indonesia yang mahal cuma berkisar 10 persen dan itupun dikonsumsi orang tertentu. “Ada tiga jenis kelompok obat yakni kelompok pertama obat paten yang harga memang mahal, kelompok kedua, obat generik bermerek harganya berkisar 30-50 persen dari paten, kelompok ketiga adalah obat generik non-merek, merupakan paling murah,” kata Noffendri pada acara jumpa pers di kantor PP IAI Jl Wijaya Kusuma, Jatipulo, Jakarta Pusat, Kamis (25/7).
Menurutnya obat di Indonesia relatif murah dan ketersediaannya sangat cukup. “Produksi di Indonesia yang sudah mencapai 90 persen dari kebutuhan, sudah masuk kategori mandiri,” papar Noffendri pada acara jumpa pers menanggapi polemik harga obat di Indonesia lebih mahal dari Malaysia. Harga termahal merupakan jenis obat kelompok pertama yang kue pasarnya hanya 10 persen dan dikonsumsi orang tertentu, untuk penyakit serius. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi kelompok kedua maupun ketiga.
Noffendri menjelaskan obat paten di Indonesia disebut lebih mahal dibanding Malaysia karena sebagian besar masyarakat di sana mengkonsumsi jenis obat tersebut. “Masyarakat Malaysia banyak menggunakan obat paten, kebalikan dengan kita. Karena saking banyaknya kebutuhan pasar, maka ongkos produksi jadi lebih kecil dan harga pun jadi lebih murah,” ungkap Noffendri didampingi Apt Hanky Febriandi, S.Farm (Ketua Hisfardis/Himpunan Seminat Farmasi Distribusi PP IAI) yang juga menjadi narasumber.
Jadi, kalau obat di Indonesia dituding lebih mahal dari negara jiran, harus dilihat dari sudut pandangnya. Noffendri menambahkan bahwa pabrik besar farmasi (PBF) tidak banyak mengambil untung dari produksi obat-obatan. “Untuk menurunkan ongkos usaha, industri obat juga bekerja sama dengan distributor yang menyediakan gudang penyimpanan obat dan transportasi menuju fasilitas kesehatan. Untuk kerja sama ini, distributor mendapat antara tujuh sampai 10 persen sehingga tak terlalu berpengaruh pada harga. Ada aturan, distributor juga dilarang menaikkan harga. Pendapatan distributor dari diskon pabrik,” paparnya.
Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo menerapkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mendorong harga obat-obatan makin jauh lebih murah. “Harga obat JKN ini bahkan sangat murah, 93?ri kebutuhan tablet berada di bawah harga Rp 500, sekitar 77?ri kebutuhan sirup berada di bawah harga Rp 5.000, dan 65?ri kebutuhan injeksi berada di bawah harga Rp 2.000,” bebernya. Saat ini sebanyak 94,77% masyarakat Indonesia telah menjadi peserta JKN dan semua jenis obat yang masuk dalam kerja sama ini diwajibkan turun harga secara signifikan.
Akses masyarakat Indonesia untuk memperoleh obat murah dan berkualitas bahkan gratis sudah terjamin melalui program pemerintah JKN. “Hal ini terlihat dari data penjualan di Indonesia, di mana 81% obat yang beredar dan digunakan di Indonesia adalah obat generik dan obat generik bermerek yang diproduksi oleh industri farmasi PMDN,” pungkasnya pada acara jumla pers yang dipandu moderator Apt Dra Tresnawati. ***