Dino Patti Djalal Buka Suara: Tom Lembong Punya Banyak Musuh Karena Sikap Kritisnya!
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal, mengungkapkan pandangannya mengenai sosok Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan di era Presiden Jokowi, yang baru-baru ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi impor gula.
Dino mengaku kaget saat mendengar kabar penahanan Tom Lembong dan mengungkapkan bahwa ia mengenal baik Tom sejak 2003. "Saya kenal baik Tom Lembong sejak 2003. Dia memiliki intelektualitas tinggi, idealisme yang kuat, serta hati yang baik," tulis Dino dalam unggahan melalui aplikasi X, Kamis, 31 Oktober 2024.
Menurutnya, Tom adalah pribadi yang kerap bersikap kritis dalam melihat berbagai persoalan bangsa. Dino menambahkan, sikap kritis ini menyebabkan Tom memiliki banyak pihak yang berseberangan dengannya, terutama setelah ia mengkritik kebijakan mantan atasannya. "Dia selalu kritis terhadap berbagai masalah bangsa, dan saya tahu dia punya banyak musuh sejak menentang mantan pimpinannya," ungkap Dino.
Dino menegaskan bahwa, setahunya, Tom bukanlah sosok yang berusaha memperkaya diri melalui jabatannya. "Kalaupun terdapat kesalahan kebijakan, itu bukan karena Tom ingin memperkaya diri, melainkan kemungkinan terjadi kesalahan penilaian. Namun, hal ini memberi celah bagi mereka yang ingin memanfaatkan mekanisme ‘pengaduan masyarakat’ yang dalam dunia hukum kita dapat direkayasa," ujar Dino.
Ia juga menyoroti bahwa impor gula yang dilakukan Tom sebenarnya berlanjut di bawah menteri-menteri perdagangan setelahnya. "Berdasarkan laporan CNN Indonesia, impor gula malah lebih sering dilakukan oleh Mendag setelah dia. Di sini perlu konsistensi dalam penegakan hukum. Tuhan bersama Anda, Tom," tutup Dino.
Sebagai informasi, Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, CS. Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Tom memberikan izin impor gula pada 2015 tanpa koordinasi dengan kementerian lain dan tanpa rekomendasi kebutuhan gula nasional, meski saat itu Indonesia mengalami surplus gula.