Sosiolog Ungkap 2 Kemungkinan Skenario Dugaan Bunuh Diri Pasutri di Cengkareng Menurut Teori Emile Durkheim
News24xx.com - Kasus dugaan bunuh diri di lingkungan keluarga masih terjadi di perkotaan. Kali ini pasangan suami istri (pasutri) berinisial S (35) dan IH (41) ditemukan tewas di rumahnya di Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu, 11 Desember 2024. Diduga mengakhiri hidupnya sendiri setelah ditemukan bekas luka pada kedua jasad.
Menurut Pakar Sosiologi Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, mengutip teori Emile Durkheim tokoh sosiologi klasik yang terkenal dengan teori bunuh diri dalam buku "Suicide", bahwa yang menjadi penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi sosial. Teori ini kemungkinan juga terjadi pada kasus kematian kedua pasutri tersebut.
"Itu adalah faktor sosial, itu artinya sesuatu yang dilakukan oleh individu karena tekanan dari luar. Jadi bunuh diri itu sebetulnya bukan satu perilaku yang didorong oleh keinginan dari dalam," kata Rissalwan, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis, 12 Desember 2024.
Rissalwan menjelaskan, kasus bunuh diri juga marak terjadi di luar negeri, bahkan di negara-negara maju seperti di Korea Selatan. Di Indonesia sendiri, lebih banyak disebabkan adanya tekanan ekonomi dan sosial. Kemudian korban sudah tidak mampu menanggung tekanan itu dan memilih menempuh jalan singkat dengan mengakhiri hidup.
"Mungkin dia punya ekspektasi hidup yang lebih baik, tapi dia tidak mampu. Akhirnya jalan terpendek adalah mengakhiri hidup," kata Rissalwan.
Kemudian terkait adanya kesaksian, bahwa rumah tangga kedua korban sudah tidak harmonis, kata Rissalwan, menjadi bukti bahwa ada tekanan yang ditanggungnya.
Tidak menutup kemungkinan, jika benar aksi bunuh diri, tindakan nekat yang dilakukan keduanya karena faktor ekonomi. Sebab adanya permasalahan ekonomi bisa menjadi pemicu persoalan lainnya.
"Tidak harmonisnya keluarga itu kan bisa karena faktor ekonomi, tapi kemudian kehilangannya nyawa. Pemicu akhirnya adalah mungkin pertangkaran yang sifatnya relasi sosial," ungkap Rissalwan.
Rissalwan melihat kasus yang menimpa korban S dan IH itu ada dua skenario. Salah satu dari korban melakukan tindakan bunuh diri dan korban lainnya ikut mengakhiri hidupnya.
Skenario kedua, salah satu korban dibunuh, kemudian korban lainnya bunuh diri. Namun bagaimana pun juga, ia menduga kuat apa yang dilakukan korban karena adanya tekanan eksternal.
"Misalnya si suami tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kemudian istri merasa tidak puas dan seterusnya, terjadilah cek-cok dan akhirnya sampai pada peristiwa itu," jelas Rissalwan.
Kendati demikian, Rissalwan menyangsikan jika ada kesepakatan antara kedua korban untuk melakukan tindakan bunuh diri. Kata dia, kesepakatan untuk bunuh diri mungkin hanya terjadi pada kalangan anak muda, karena polanya sering terjadi. Namun pihak kepolisian harus tetap menyelidiki kasus tersebut secara komprehensif.
"Jadi modus itu (kesepakatan bunuh diri) tidak mungkin terjadi di orang itu yang sudah berumah tangga. Janjian meninggal itu tidak ada," ungkapnya.
Rissalwan mengimbau kepada keluarga di Indonesia untuk lebih banyak bersabar di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Kemudian juga banyak mengenang masa-masa indah jika timbul kejenuhan di rumah tangga. Dia juga berharap pemerintah Presiden Prabowo Subianto dapat memperbaiki kondisi ekonomi.
"Harus banyak bersabar. Banyak mengenang masa-masa yang baik lah. Jadi saya kira memang harus saling mengingatkan, saling menahan diri," imbau Rissalwan. ***