KPK Periksa 11 Debitur, Korupsi di LPEI Berpotensi Negara Merugi Rp11,7 Triliun

KPK Periksa 11 Debitur, Korupsi di LPEI Berpotensi Negara Merugi Rp11,7 Triliun - Image Caption


News24xx.com -  - Sebanyak 11 debitur diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit. Dananya bersumber dari APBN di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang rugikan negara Rp11,7 triliun.

Kasus ini sudah diusut KPK sejak 2024 terhadap 11 debitur yang diberikan kredit oleh LPEI. Total kredit yang diberikan kurang lebih Rp11,7 triliun. “Kami terus mendalami kredit tersebut,” kata Kasatgas Penyidik KPK Budi Sokmo, dalam keterangannya yang didapat media ini, Selasa (4/3/2025).

Lima orang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka, dua orang dari pihak LPEI masing-masing Direktur Pelaksana 1 LPEI Wahyudi dan Direktur Pelaksana 4 LPEI Arif Setiawan. Tiga tersangka lainnya debitur PT Petro Energy (PE), yakni Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT Petro Energy Jimmy Masrin, Direktur Utama PT Petro Energy Newin Nugroho dan Direktur Keuangan PT Petro Energy Susi Mira Dewi Sugiarta.

Sedangkan 10 debitur lain masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan pihak KPK. Alasannya masih dalam proses pendalaman, ke 10 debitur ini belum bisa dibeberkan aktivitasnya di bidang apa saja.

Kasus ini berawal pada tahun 2015, PT PE menerima kredit dari LPEI sebesar kurang lebih 60 juta dolar AS atau sekitar Rp988,5 miliar. Dananya diterima dalam tiga termin, pertama pada 2 Oktober 2015 sekitar Rp297 miliar rupiah. Kedua pada 19 Februari 2016 sebesar Rp400 miliar dan ketiga pada 14 September 2017 sebesar Rp200 miliar.

Para direksi LPEI sebenarnya tahu, current ratio PT PE di bawah 1 atau tepatnya 0,86. Artinya pengeluaran perusahaan lebih besar dari pendapatan yang berpotensi membuat PT PE kesulitan melakukan pembayaran terhadap kredit yang diberikan oleh PT LPEI.

Pihak Direksi LPEI juga disebut tidak melakukan inspeksi terhadap agunan yang diberikan PT PE saat mengajukan proposal kredit. Selain itu, PT PE diduga membuat kontrak palsu yang dijadikan dasar mengajukan kredit kepada LPEI. Tindakan tersebut diketahui oleh direksi dari PT LPEI. Namun dibiarkan bahkan mereka tidak melakukan evaluasi ketika pembayaran kredit termin pertama tidak lancar.

Anehnya para direktur tetap saja memberikan kredit kepada PT PE walaupun sudah dilaporkan dari bawah. Sebenarnya PT PE tidak berhak mendapatkan top up sebesar Rp400 miliar dan Rp200 miliar setelah pengucuran yang pertama. Namun semua laporan dan masalah lainnya tetap diabaikan oleh kedua direktur yang mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap dikeluarkannya kredit tersebut. ***