Hendardi: Aparat Tembak Aparat, Negara Harus Menegakkan Supremasi Hukum

Hendardi: Aparat Tembak Aparat, Negara Harus Menegakkan Supremasi Hukum - Image Caption
News24xx.com - Tiga anggota Polsek Negara Batin, Way Kanan, Lampung meninggal dunia akibat ditembak saat melakukan penggerebekan judi sabung ayam, pada Senin (17/3/2025) sore. Lokasinya di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Lampung.
Tragedi berdarah tersebut terjadi saat 17 personel anggota Polri dari Polres Way Kanan diterjunkan untuk membubarkan judi sabung ayam tersebut. Ketiga korban mengalami luka pada bagian kepala yang dilakukan dua orang terduga oknum anggota TNI.
Dalam perkembangan terbaru, dua oknum anggota TNI yang diduga sebagai pelaku penembakan telah berhasil ditangkap. Terduga pelaku adalah Peltu L selaku dansubramil Negara Batin, dan Kopka B anggota Subramil Negara Bantin.
Setara Institute mengutuk peristiwa kekerasan terhadap aparat oleh aparat di Way Kanan. Tindakan kekerasan dalam bentuk penembakan, apalagi hingga mengakibatkan hilangnya nyawa, secara mutlak tidak dapat dibenarkan.
Tragedi berdarah Way Kanan menegaskan bahwa konflik TNI-Polri bersifat laten. Dalam catatan Setara Institute tidak kurang dari 37 konflik dan ketegangan terjadi antara tahun 2014-2024. “Pada awal tahun ini, sudah terjadi dua kekerasan terbuka di antara dua aparat negara ini,” kata Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi, dalam pernyataan tertulisnya yang diterima POSKOTAONLINE.COM, Selasa (18/3/2025).
Sebelum peristiwa Way Kanan, kata Hendardi, terjadi penyerangan oleh oknum anggota TNI terhadap Mapolres Tarakan. Fenomena tersebut hanyalah puncak gunung es. Konflik dan ketegangan yang tertutup dipastikan lebih besar dari yang mencuat ke permukaan.
Setara Institute mendesak agar pelaku penembakan di Way Kanan diproses dengan penegakan hukum dengan mekanisme hukum pidana. Sebab, tindakan pelaku tidak ada hubungan sama sekali dengan tugas-tugas kemiliteran.
Hal ini, menurut Hendardi, sesuai ketentuan UU TNI yang memandatkan bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diproses dalam kerangka pidana umum.
Negara, khususnya pemerintah, mesti hadir dengan menegakkan supremasi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Supremasi anggota TNI yang sering tidak mau tunduk pada peradilan umum selama ini menjadi salah satu sebab keberulangan peristiwa. Selama ini, kehadiran negara dalam konflik TNI-Polri hanya bersifat simbolik, elitis, serta tidak mengedepankan supremasi hukum.
Di tingkat elite dan kelembagaan TNI-Polri, menjaga kekondusifan dan sinergi dilakukan secara artifisial dengan terus mendengungkan “Sinergisitas atau Sinergitas TNI-Polri”.
Dikatakan Hendardi, secara lebih substantif, negara dan TNI-Polri sendiri harus membangun karakter dan mentalitas TNI-Polri dengan pendekatan yang lebih sistemik, struktural dan kultural sekaligus. Penanganan konflik dan ketegangan antara TNI-Polri harus dilakukan secara substantif dan fundamental.
Harus membangun kepatuhan anggota TNI-Polri pada disiplin bernegara dan berdemokrasi yang dibangun di atas supremasi hukum dan supremasi sipil. TNI-Polri harus menjalankan peran masing-masing dengan tunduk pada konstitusionalisme dan desain konstitusional yang disepakati.
Di mana masing-masing lembaga harus menjalankan perannya dengan tidak melampaui batas-batas tugas dan fungsi sesuai mandat konstitusionalnya. Peningkatan disiplin dalam berdemokrasi juga mesti dialamatkan pada politisi-politisi sipil.
Dikatakan Hendardi lagi, politisi tidak perlu menggoda TNI-Polri untuk memasuki arena yang bukan merupakan tugas dan fungsinya. Langkah itu justru mengekspresikan ketidakpercayaan diri dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka sebagai otoritas sipil.
Politisi di DPR harus disiplin untuk tidak melaksanakan fungsi legislasi yang melampaui ketentuan UUD Negara RI 1945, hanya karena ingin memanjakan institusi-institusi tertentu. Hal itu justru akan menimbulkan kekacauan konstitusional dan memicu konflik antarinstitusi yang semakin dalam. ***