Gubes Unkris Prof Gayus Apresiasi Aksi Heroik Kejagung Ungkap Dugaan Suap Ketua PN Jaksel dan Hakim PN Jakpus

Gubes Unkris Prof Gayus Apresiasi Aksi Heroik Kejagung Ungkap Dugaan Suap Ketua PN Jaksel dan Hakim PN Jakpus - Image Caption


News24xx.com -  Terungkapnya kasus dugaan pidana suap yang menimpa Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan berinisial MAN dan ASB serta AM (hakim PN Jakarta Pusat) oleh Kejaksaan Agung, patut diapresiasi. Langkah ini kata mantan Hakim Agung Prof Gayus Lumbuun sebagai upaya ‘bersih-bersih’ lembaga peradilan dari praktik-praktik suap.

“Harus dipahami bahwa dalam memutus suatu perkara, utamanya pidana, ada kolaborasi, terkhusus antara hakim dan jaksa ditambah dengan panitera. Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan dalam memutus sebuah perkara, di mana hakim tetap memegang peran kunci sebagai pemutus perkara,” kata mantan Hakim Agung Prof Gayus Lumbuun, menyikapi kasus tersebut, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/4/2025).

Dalam kasus tersebut, para hakim diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar pada pengurusan kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO). Mereka dituduh menerima suap dari tiga perusahaan yakni, Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group, di mana ketiga perusahaan itu memperoleh putusan lepas dari tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolging) dari PN Tipikor pada PN Jakpus, 19 Maret lalu.

Prof Gayus mengingatkan, aksi heroik Kejagung tersebut, jangan lantas mengurangi harmonisasi dalam menangani perkara di antara para penegak hukum, utamanya dalam persidangan. Sebab perbuatan gratifikasi, bila benar dilakukan oleh para hakim tersebut memang perlu diberantas, tapi harus melalui lembaga yang tepat, yakni KPK.

“Tentu perlu dijaga juga suasana di dalam ruang sidang, khususnya antara hakim dengan jaksa, sehingga penanganan perkara bisa lebih profesional,” tegas Prof Gayus.

Lebih lanjut, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) ini juga menyarankan agar pihak kejaksaan berkoordinasi dengan KPK dalam penanganan dugaan suap Ketua PN Jaksel cs.

Menurutnya, koordinasi dengan KPK menjadi bagian penting karena lembaga antirasuah tersebut yang secara khusus diberi kewenangan untuk menangani praktik korupsi dan suap oleh UU.

“Hak dan kewajiban Kejaksaan yang mendasar untuk berkoordinasi dengan KPK diatur dalam beberapa undang-undang,” kata Prof Gayus.

Di antaranya, UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur tugas dan kewenangan KPK dalam perkara dugaan korupsi dan suap. Hal tersebut juga disinkronkan dengan UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang juga mengatur tentang peran Kejaksaan dalam penegakan hukum, termasuk koordinasi dengan KPK.

Diuraikan, dalam UU 19/2019, terdapat beberapa pasal yang relevan terkait koordinasi antara Kejaksaan dan KPK, yakni: Pasal 20 dan Pasal 21, yang menjadi dasar hukum untuk tugas dan wewenang KPK, maupun Pasal 51 ayat (1) yang terkait dengan penuntutan dan kewenangan Penuntut Umum pada KPK. Selain itu, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengatur tentang kewenangan Kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi.

Perlunya koordinasi

Diyakini, koordinasi dengan KPK dalam kasus tersebut akan mendorong penyelesaian perkara lebih profesional. “Koordinasi antara Kejaksaan dan KPK penting untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia,” imbuh Prof Gayus.

Ia menegaskan, penanganan dugaan suap di KPK memiliki dimensi yang lebih luas dibanding Kejaksaan. Pada UU KPK ada ketentuan bahwa gratifikasi atau suap bisa diserahkan ke KPK dalam waktu 30 hari.

Prof Gayus memaparkan, ketentuan tentang gratifikasi atau suap yang bisa diserahkan ke KPK dalam waktu 30 hari tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan dalam UU Kejaksaan.

Dalam Pasal 12C UU 20/2001 dikatakan bahwa gratifikasi bukan merupakan perbuatan suap atau tindak pidana korupsi, jika penerimanya melaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima. Pelaporan ini wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi, dan KPK wajib menetapkan status gratifikasi tersebut dalam waktu 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan.

Dengan kata lain, ketentuan dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku dan tidak akan dianggap melakukan tindak pidana korupsi jika penerima gratifikasi melaporkan penerimaan tersebut kepada KPK dalam 30 hari kerja.

Pasal tersebut, sambung Prof Gayus, memberi kesempatan kepada penerima gratifikasi untuk melaporkan penerimaan gratifikasi dan menghindari sanksi pidana. Jika penerima gratifikasi tidak melaporkan gratifikasi dalam batas waktu 30 hari kerja, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara dan denda yang berat.

“Jadi, meskipun Kejaksaan memiliki peran penting dalam menangani kasus korupsi, namun ketentuan pelaporan gratifikasi dalam waktu 30 hari secara spesifik tercantum dalam UU Tipikor yang menjadi landasan kerja KPK dalam menangani kasus-kasus gratifikasi.

Ditambahkannya, apabila dugaan gratifikasi oleh Ketua PN Jaksel dihandle oleh KPK, maka hasil kejahatannya akan diserahkan ke negara melalui KPK. Di mana hal tersebut juga akan menjadi pertimbangan meringankan.

Prof Gayus menekankan pentingnya koordinasi antar penegak hukum, seperti Kejagung dengan KPK. Dalam hal ini, KPK bisa melakukan supervisi terhadap kasus tersebut.

“Kejagung dan KPK dapat bekerja sama untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia,” tuturnya.

Kedepan, bila Kejagung menemukan kasus dugaan korupsi bisa diberikan ke KPK, yang oleh UU diberi kewenangan khusus dalam menangani kasus-kasus korupsi, sehingga jelas sesuai tupoksi masing-masing menurut UU. “Penegakkan hukum, termasuk korupsi, di Indonesia bukan sebuah perlombaan antar-lembaga, melainkan merupakan sebuah koordinasi yang jelas di antara lembaga-lembaga yang secara khusus diberi kewenangan oleh UU,” tutup Prof Gayus.  ***