Jutaan Rekening Bandar Judi, Runtuhnya Kedaulatan Negara atas Sistem Keuangannya Sendiri

Jutaan Rekening Bandar Judi, Runtuhnya Kedaulatan Negara atas Sistem Keuangannya Sendiri - Image Caption
News24xx.com - Perputaran uang perjudian daring menggunakan jutaan nomor rekening perbankan dan lembaga keuangan non-bank masih berlangsung tanpa henti.
Fakta ini adalah bukti telanjang, bahwa seluruh otoritas penata kelola keuangan di Indonesia dimulai dari bank, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan terlihat gagal menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
“Publik dihadapkan pada kenyataan pahit. Padahal, mandat hukum mereka tidak main-main. Ada UU Perbankan, UU Otoritas Jasa Keuangan, UU Bank Indonesia, serta UU pencegahan dan pemberantasan TPPU. Aliran uang gelap, tetap jalan,” kata Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Senin 25 Agustus 2025.
Menurut IAW, bank yang menjadi pagar pertama, harusnya mengenali nasabah, mengawasi transaksi, dan menolak segala bentuk aktivitas mencurigakan. “Ini malah sebaliknya, justru bank-bank besar yang menjadi jalan favorit bagi para bandar judi untuk membuka rekening,” ujarnya.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari tahun ke tahun dan sudah menegur lemahnya pengendalian internal perbankan, namun ribuan rekening dormant yang tidak diaudit, serta celah verifikasi digital yang longgar, menjadi bukti bahwa bank lebih sibuk mengejar target bisnis ketimbang menjaga integritas sistem keuangan.
IAW mencatat, tahun 2015–2017 adalah awal lonjakan rekening tidak aktif. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) periode ini mencatat, ada ribuan rekening pemerintah daerah di bank umum berstatus tidak aktif dengan saldo miliaran rupiah.
Audit IAW, ada relevansi dengan judi online rekening dormant ini. Sangat rawan dipakai kembali (activated account) untuk menampung dana ilegal.
Memasuki tahun 2018–2020, LHP BPK menemukan ketidakpatuhan bank terhadap prinsip Know Your Customer (KYC).
Bahkan terdapat rekening dengan dokumen identitas ganda dan tidak sah, namun tetap diloloskan sistem bank.”Harusnya transaksi mencurigakan segera dilaporkan sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) ke PPATK. Jangan beri ruang bagi mafia judi online,” katanya.
IAW juga mendeteksi ada 2.115 rekening pemerintah dan fraud by omission dengan saldo lebih dari Rp500 miliar sejak tahun 2023–2024.
Menurut Iskandar, dari tahun 2015 hingga 2024, pola temuan BPK konsisten menyoroti kelemahan yang berulang seperti, rekening dormant pemerintah tidak diaudit, KYC lemah sebab identitas palsu atau pinjaman identitas lolos, digital banking longgar potensi besar pembukaan rekening masif tanpa pengendalian ketat dan fraud by omission, dimana oknum bank sengaja membiarkan rekening ilegal hidup.
“BPK sudah berkali-kali menegur, tetapi masih saja ada. Wajar jika hari ini jutaan rekening dipakai bandar judi online, karena pagar utama sistem keuangan Indonesia memang bolong dari dalam,” tegasnya.
IAW mendesak, agar OJK memegang peran pengawas, pengatur, dan pemberi izin lembaga jasa keuangan, lebih berani lagi.
Bagi IAW, semua celah bisa ditutup, kalau ada kesungguhan. Faktanya, jutaan rekening judi tetap lahir setiap tahun.
Mengapa?, karena pengawasan OJK berhenti pada dokumen dan laporan formalitas.
Iskandar mengatakan, BI sebagai pengendali utama sistem pembayaran nasional seperti transaksi melalui QRIS, BI-FAST, dompet digital, dan virtual account berada dalam genggamannya, namun ironinya, bandar judi tetap leluasa memanfaatkan kanal-kanal ini untuk menyalurkan dana taruhan.
“PPATK menjadi intelijen keuangan negara. Laporan transaksi mencurigakan dari bank, fintech, dan lembaga keuangan non-bank sudah masuk ke meja PPATK. Eksekusi,” pintanya.
IAW mengaku, ketika bank gagal, OJK lemah, BI lalai, dan PPATK hanya mencatat, maka publik dihadapkan pada kebangkrutan integritas sistem keuangan.
Atas hal ini, Iskandar mengatakan, masih aktifnya jutaan rekening judi online adalah bukti, bahwa negara tidak kalah dalam undang-undang, tetapi kalah dalam implementasi.
“Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan sekadar lemahnya pengawasan, tetapi runtuhnya kedaulatan negara atas sistem keuangannya sendiri,” kata Iskandar. ***