Gaduh Residen PPDS Undip Bunuh Diri, Ini Deretan Kasus Bullying di Dunia Kedokteran

Gaduh Residen PPDS Undip Bunuh Diri, Ini Deretan Kasus Bullying di Dunia Kedokteran - Image Caption


News24xx.com -  Laporan kasus bunuh diri dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip) bak memperkuat perundungan dalam proses pendidikan dokter spesialis masih terus berlanjut. Sudah jadi rahasia umum sejumlah keluhan yang dialami para residen tidak hanya meliputi perundungan secara verbal, melainkan beberapa di antaranya adalah tekanan fisik, dan materi.

Beban Jam Jaga

Beberapa residen sempat memberikan kesaksian mereka selama menjalani PPDS. (F) yang saat itu masih menjadi residen, dibebankan tambahan jam malam sehingga waktu istirahatnya hanya tersisa satu sampai dua jam selama satu hari penuh.

Belum lagi, permintaan materi yang lumayan banyak menguras uang sakunya selama PPDS. Setiap hari, F selalu diminta untuk menyiapkan makanan tiga kali sehari dengan uang pribadi. Tanggungannya relatif tidak sedikit, karena diminta menyiapkan kebutuhan lebih dari lima senior.

"Padahal saat itu saya juga butuh untuk keperluan kost, minta makanannya juga kadang macem-macem," tutur F.

Cacian dan Makian

Pengakuan lain dari (G) juga sempat ramai disorot, saat istrinya yang menjalani PPDS tak kuat menanggung beban cacian, makian senior dengan tambahan tugas yang sehari-hari di luar batas wajar.

"Biaya kuliah saja sudah berpuluh-puluh juta, ditambah sering harus menyediakan barang yang diminta senior 'at all cost'. Jika tidak, Anda akan dicibir oleh senior, dihukum dengan tugas tambahan dan sebagainya," cerita G kala itu, kepada detikcom.

"Pernah meeting sampai dini hari hanya untuk mendengarkan omelan dari senior. Lalu jam 5 pagi harus kembali ke kampus atau RS," lanjut G.

Pengaruh Nilai 'Darah Biru'

Kesulitan pembelajaran selama PPDS tidak hanya diwarnai bullying, tetapi juga kentalnya budaya 'darah biru', yang rupanya berpengaruh banyak pada pemberian nilai.

(MK) yang menjalani masa klinik dan pre klinik di FKG salah satu universitas di Indonesia ikut merasakan imbasnya.

"Kalau dia ada hubungan keluarga, ponakan, sudah itu mah sakti. Nggak akan kena apapun, malah dia diistimewakan," cerita (MK) kepada detikcom beberapa waktu lalu, pria yang kala itu baru selesai menjalani masa klinik dan pre klinik di FKG salah satu universitas di Indonesia.

"Contoh nih ya gigi kamu patah, terus aku tambal nih, tambal, udah paling bagus lah paling rapi. Tapi, kalau dosennya lagi pusing, lagi stres, lagi uring-uringan, tambalan sebagus apapun itu nggak di-acc. Beda cerita kalau (misalnya) aku keponakan dosen anu, profesor anu, dosen yang tadi dosen udah pulang, terus misalnya di-WA mau acc, yasudah fotokan saja (dipermudah)," lanjut MK.

'Dipalak' Puluhan Juta Rupiah
Laporan 'dipalak' puluhan juta rupiah, bahkan sampai di telinga Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Salah seorang residen atau calon dokter spesialis mengalami kerugian materi hingga setara uang kuliah.

Biaya yang dibebankan juga tidak berkaitan sama sekali dengan tugas di periode PPDS.

"Yang saya juga kaget ini berkaitan dengan uang, jadi cukup banyak juga junior-junior ini suruh ngumpulin, ada yang jutaan, puluhan juta, kadang-kadang ratusan juta," beber Menkes dalam konferensi pers Kemenkes RI Kamis (21/7/2023).

"Macam-macam, bisa buat nyiapin rumah untuk kumpul, para senior kontraknya setahun 50 juta bagi rata ke juniornya," terang dia.

Contoh lain yang juga sering dilaporkan adalah menyediakan tempat futsal untuk pertandingan bola. Tidak hanya tempat, melainkan kebutuhan sepatu dan perlengkapan lain.

"Atau kadang-kadang aduh nih handphone saya sudah nggak bagus ipadnya nggak bagus. Dan itu nggak pernah berani dilaporkan oleh para junior," tandasnya. ***