Petani Jatiluwih Keluhkan Pembagian Hasil Wisata yang Tidak Adil

Petani Jatiluwih Keluhkan Pembagian Hasil Wisata yang Tidak Adil - Image Caption
News24xx.com - Sejumlah petani kawasan wisata di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, mengeluhkan ketidakadilan dalam pembagian hasil dari pengelolaan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih. Pasalnya, para petani merasa mendapat bagian kecil, sedangkan pengurus DTW mendapat porsi jauh lebih besar sehingga petani menuntut tambahan.
Mereka menilai pengurus DTW kurang berpihak kepada para petani sekaligus pemilik lahan yang menjadi bagian dari objek wisata tersebut. “Lahan milik petani telah lama dimanfaatkan sebagai bagian dari objek wisata. Namun hasil yang diterima petani sangat kecil, tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan,” kata Gede Darmika, salah satu petani di Desa Jatiluwih, Tabanan, Selasa (29/4).
Menurutnya, DTW dibentuk tahun 2014 sebagai bagian dari Warisan Budaya Dunia (WBD) UNESCO. Pendapatan yang diterima DTW dibagikan ke subak (kelompok petani), lalu disalurkan ke petani. “Tapi setelah dibagi-bagi, yang kami terima sangat kecil,” sambung Gede. Ia mempertanyakan mengapa petani hanya menerima bagian kecil, padahal lahan mereka yang dijadikan daya tarik utama wisata di Jatiluwih, sementara pemasukan DTW cukup besar setiap bulannya.
Para petani pernah mengajukan kenaikan dana pengelolaan lahan sebesar Rp 7 juta per hektar setiap enam bulan. Namun hingga kini, pengajuan tersebut belum mendapatkan tanggapan dari pemerintah setempat dan pengurus DTW. “Kalau benar pengurus DTW gajinya besar sehingga bisa jalan-jalan ke Singapura, itu sangat ironis. Kami yang punya lahan dan menggarapnya, hasil yang didapat kecil. Sementara mereka menikmati hasil dari lahan kami bisa ke luar negeri,” keluhnya. Gede menambahkan luas lahan petani yang dijadikan objek wisata yakni sekitar 270 hektar.
Wayan Semarajaya, petani lainnya menuturkan bahwa sebelum dikelola DTW, harga tiket masuk kawasan wisata Jatiluwih hanya Rp 2.500 dan seluruh hasilnya masuk ke kas desa. Namun sejak dikelola DTW, sistem pembagian berubah. “Dulu, saat DTW dipimpin Pak Nengah, pendapatan dibagi 55 persen untuk Pemda dan 45 persen untuk desa. Lalu berubah menjadi 45 persen untuk Pemda dan 55 persen untuk desa,” jelas Wayan.
Ia menambahkan bahwa bagian desa tersebut kemudian dibagi lagi kepada subak dan dua desa adat yaitu Gunung Sari dan Jatiluwih. Namun, setelah kepengurusan berganti, Wayan mengaku tidak mengetahui apakah sistem tersebut masih berjalan. Wayan juga membenarkan bahwa petani telah mengusulkan dana pengelolaan sebesar Rp 7 juta per hektar.
“Saya punya setengah hektar lahan. Untuk pengelolaan sampai panen bisa habis Rp 6 juta lebih. Jadi untuk satu hektar bisa mencapai Rp12 juta,” paparnya. Menurut Wayan, pengajuan tersebut sudah disampaikan sejak tahun lalu, namun hingga kini belum mendapat jawaban dari pihak terkait. ***